Berjemur Tepat

Kulit Sehat

FREEPIK

Cara berjemur yang tidak tepat dapat memberikan efek yang buruk untuk kulit.

Kebiasaan berjemur di bawah paparan sinar matahari pun dapat memicu masalah kulit pada sebagian orang. Di satu sisi, berjemur di bawah paparan sinar matahari memang bermanfaat dalam meningkatkan kadar vitamin D3 di dalam tubuh.

 

Kebiasaan itu pula yang dijalani oleh Bambang Sutrisno (73 tahun).  Di usia senjanya, pensiunan PNS ini tetap berusaha agar tubuhnya tetap fit. Salah satu cara yang ditempuh adalah berjemur. ‘’Apalagi sekarang ini kaki saya juga sering sakit sehingga tidak bisa berjalan jauh atau naik sepeda lagi untuk berolahraga,’’ ujar pria yang  tinggal di Bandung ini pada akhir pekan lalu.

 

Pada masa pandemi seperti saat ini, vitamin D3 diyakini berperan dalam menunjang imunitas tubuh. "Semakin tinggi kadar vitamin D3, biasanya imunitas kita akan semakin baik," ungkap dokter spesialis kulit dan kelamin dari Skin & Aesthetic Clinic RS Pondok Indah Puri Indah dr Susie Rendra SpKK FINSDV.

 

Berjemur di bawah paparan sinar matahari juga baik untuk kesehatan tulang. Akan tetapi, cara berjemur yang tidak tepat dapat memberikan efek yang buruk untuk kulit.

 

Salah satu masalah kulit yang bisa terjadi akibat pajanan sinar matahari adalah polymorphic light eruption (PMLE). Pada kasus PMLE, ruam bisa muncul akibat paparan sinar matahari pada individu dengan kulit yang sensitif. Ruam ini dapat muncul dalam bentuk titik kemerahan dan rasa gatal, biasanya di area tubuh yang tidak tertutup pakaian.

 

Cara berjemur yang salah pun dapat memicu terjadinya sunburn atau kulit terbakar akibat sengatan matahari. Kondisi ini umumnya terjadi karena sebagian orang berpikir bahwa semakin lama berjemur, efeknya semakin baik. Anggapan ini sebenarnya tidak salah, selama berjemur tidak memicu sunburn. "Kalau sudah terjadi sunburn, kulit menjadi merah, nyeri, terasa panas, gatal bila disentuh," ungkap dr Susie.

 

Pertolongan pertama untuk mengatasi sunburn adalah mengaplikasikan pelembap pada area kulit yang terdampak. Aplikasikan pelembap dalam jumlah yang banyak, jangan terlalu tipis. Dengan cara ini, rasa kering dan gatal pada kulit bisa berkurang dengan lebih cepat. Bila keluhan kulit gatal dan kering tetap berlanjut, atau malah muncul lenting-lenting berisi air, sebaiknya lakukan pengobatan lebih lanjut dengan dokter.

 

Menurut Susie, cara berjemur yang baik perlu mempertimbangkan beberapa hal di antaranya adalah durasi. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami keluhan sunburn setelah berjemur selama 30 menit perlu mengurangi durasi berjemur di hari-hari berikutnya.

TATIANA/PEXELS

Menentukan lama durasi berjemur juga perlu memperhitungkan indeks UV. Cara mudah untuk mengetahui indeks UV adalah dengan mengakses fitur weather atau cuaca di ponsel pintar. Indeks UV yang ideal untuk berjemur menurut dr Susie adalah 5-6. Pada indeks UV 5 atau 6, durasi berjemur bisa dilakukan lebih panjang sekitar 15-30 menit.

 

Penentuan waktu yang tepat juga penting dalam berjemur. Berjemur sekitar pukul 8-9 pagi bisa dilakukan dalam durasi yang lebih panjang. Akan tetapi, berjemur di waktu yang terik seperti pada jam 11-12 siang, cukup dilakukan sekitar lima menit saja. "Apakah (berjemur) harus dilakukan setiap hari? Tidak. Kadang-kadang tiga kali sepekan saja cukup," ungkap dr Susie.

 

Berjemur juga tidak perlu dilakukan dengan membuka baju atau hanya menggunakan pakaian dalam. Berjemur sambil mengekspos area lengan dan tungkai sudah cukup.

 

Eksim hingga biduran

 

Masa pandemi Covid-19 ternyata bisa memicu masalah kulit seperti perburukan penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya. Sebagai contoh, orang yang sudah punya masalah eksim sebelum pandemi, sering kali merasa penyakit eksimnya menjadi lebih berat ketika pandemi Covid-19. Kondisi ini, lanjut dr Susie, bisa disebabkan oleh stres hingga kebiasaan-kebiasaan baru seperti penggunaan produk antiseptik. "Sehingga kulit eksim itu menjadi lebih sensitif lagi," ujar dr Susie.

Semakin tinggi kadar vitamin D3, biasanya imunitas kita akan semakin baik.

Tak jarang, dr Susie juga mendapati perburukan pada pasien psoriasis. Pasien yang sebelumnya terkontrol, mulai mengalami kekambuhan di masa pandemi ini. Masalah kulit yang juga bisa terjadi di masa pandemi adalah masalah kulit yang dipicu oleh Covid-19 itu sendiri. Salah satu contohnya adalah urtikaria atau dikenal sebagai biduran. "(Biduran) ini bisa merupakan tanda-tanda ruam kulit yang terjadi pada Covid-19," kata dr Susie.

 

Orang yang mengalami biduran memang tidak serta-merta dapat disimpulkan terkena Covid-19. Akan tetapi, orang dengan biduran sebaiknya turut mewaspadai kemungkinan dirinya terkena Covid-19. Terlebih, bila biduran tersebut disertai dengan gejala-gejala Covid-19 lain. "Ada juga yang namanya ruam morbiliformis, yaitu ruam kulit yang menyerupai campak. Kelainan kulit seperti ini ternyata bisa muncul pada pasien dengan Covid-19," ujar dr Susie.

 

Pada beberapa kepustakaan, dr Susie mengatakan pasien Covid-19 bisa mengalami masalah kulit berupa papulovesicular rash atau ruam kulit menyerupai cacar kulit. Beberapa masalah kulit lainnya yang juga bisa berkaitan dengan pasien Covid-19 adalah chilblain atau pembengkakan pada jari-jari kaki disertai warna kemerahan, livedo reticularis atau bercak kulit kemerahan dengan pola seperti jala, dan vaskulitis atau peradangan pada pembuluh darah kecil yang memunculkan bercak kemerahan.

 

"Berapa persen pasien Covid-19 mengalami kelainan kulit? Tidak sampai 50 persen ya, kasusnya juga tidak banyak, tapi ini semua adalah kasus-kasus yang bisa ditemukan pada pasien Covid-19," ungkap dr Susie.

 

Secara umum, dr Susie mengatakan pengobatan masalah kulit di masa pandemi perlu dilakukan sesuai dengan penyebabnya dan kelainan kulit yang terjadi. Bila memungkinkan, hindari pula hal-hal yang dapat memicu terjadinya masalah kulit tersebut.

 

Namun bila pemicunya adalah hal yang tak bisa dihindari, seperti menggunakan masker, maka solusi lain perlu dipertimbangkan. Misalnya rutin mengganti masker dan rajin membersihkan wajah sebelum mengganti masker lama dengan masker baru.

 

Menurut dr Susie, orang yang mengalami masalah kulit di masa pandemi ini dapat mencoba pengobatan sendiri dulu di rumah. Misalnya dengan menggunakan obat-obat bebas. Upaya ini bisa dicoba sendiri sekitar lima hari sampai sepekan. "Tapi kalau tidak ada perbaikan, alangkah lebih baiknya kalau bisa berobat ke dokter terdekat," ungkap dr Susie.

Waspadai Stres

FREEPIK

Munculnya masalah kulit di masa pandemi juga dapat dipicu oleh stres. Menurut dokter spesialis kulit dan kelamin dari Skin & Aesthetic Clinic RS Pondok Indah Puri Indah dr Susie Rendra SpKK FINSDV, setiap orang pasti pernah mengalami stres di masa pandemi ini. Pemicu stres ini pun bisa berbeda-beda pada setiap orang.

 

Salah satu masalah kulit yang dapat dipicu oleh stres adalah dermatitis seboroik. Seperti halnya dermatitis seboroik yang dipicu oleh penggunaan masker, dermatitis seboroik akibat stres pun memunculkan gejala berupa ruam kemerahan, bersisik, dan gatal di kulit.

 

Keluhan rambut rontok pun bisa ditemukan pada masa pandemi ini. Selain bisa dipicu oleh stres, keluhan rambut rontok juga dapat didorong oleh penyakit Covid-19 itu sendiri. "Pasien-pasien yang sudah sembuh dari Covid-19 ternyata bisa mengalami kerontokan rambut," ungkap dr Susie.

 

Bila menghadapi masalah ini, langkah pertama yang disarankan dr Susie adalah memangkas rambut menjadi lebih pendek. Alasannya, rambut yang lebih panjang akan membuat tarikan di akar rambut menjadi lebih berat.

 

Di samping itu, dr Susie juga menyarankan untuk tidak terlalu sering menyisir rambut. Ketika seseorang menyisir, rambut akan ikut tertarik sehingga menjadi lebih mudah lepas dari akar rambut. Pada perempuan, kebiasaan mengikat rambut pun sebaiknya dihindari. Mengikat rambut juga menyebabkan rambut menjadi tertarik sehingga meningkatkan risiko mengalami kerontokan rambut. Pada kulit, stres di masa pandemi juga dapat memicu munculnya jerawat. Selain stres dan penggunaan masker, jerawat di masa pandemi juga dapat disebabkan oleh perubahan pola makan.

top